Diterbitkan pada 13 Sep 2025
Indonesia, negeri yang dijuluki zamrud khatulistiwa, dikenal akan kekayaan alamnya yang melimpah, keberagaman budayanya yang memesona, dan sejarah perjuangannya yang heroik. Namun di balik segala keindahan dan potensi besar itu, pertanyaan ini terus terngiang di benak banyak rakyatnya: ada apa dengan Indonesia?
Pertanyaan ini bukan sekadar retoris. Ia lahir dari rasa kecewa, bingung, bahkan frustrasi terhadap berbagai kenyataan yang bertolak belakang dengan idealisme tentang bangsa ini. Mengapa negara yang kaya akan sumber daya alam justru masih memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi? Mengapa korupsi tetap merajalela, meskipun hukum telah ditegakkan dan lembaga pengawasan dibentuk? Mengapa suara rakyat seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib mereka?
Masalah terbesar Indonesia bukan kekurangan sumber daya, melainkan krisis tata kelola dan minimnya rasa tanggung jawab kolektif. Kita memiliki kekayaan tambang, laut, dan hutan, tetapi pengelolaannya sering kali tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Alih-alih memperkuat ketahanan ekonomi nasional, banyak kebijakan justru membuka pintu lebar-lebar bagi eksploitasi dan ketimpangan.
Di bidang pendidikan, akses memang telah dibuka lebih luas, namun kualitasnya masih jauh dari merata. Banyak anak di pelosok negeri yang harus berjalan berjam-jam hanya untuk bisa belajar, sementara di kota-kota besar, sekolah swasta elit menjadi simbol kesenjangan yang kian melebar. Begitu pula di bidang kesehatan, infrastruktur, hingga pelayanan publik lainnya ketimpangan menjadi pemandangan sehari-hari.
Politik Indonesia juga sering kali tak mencerminkan aspirasi rakyat. Demokrasi kita berjalan, tetapi kadang kehilangan esensinya. Pemilu lebih sering menjadi ajang perebutan kekuasaan, bukan kompetisi ide dan gagasan. Janji ditebar menjelang pemilihan, lalu dilupakan begitu kursi dikuasai. Rakyat seperti hanya diperlukan lima tahun sekali.
Namun, di tengah segala kekurangan itu, Indonesia tetaplah negara yang memiliki harapan. Di setiap sudut negeri, masih banyak anak muda yang berkarya dengan integritas. Masih ada guru yang mengajar di daerah terpencil tanpa pamrih. Masih ada petani, nelayan, buruh, dan pelaku UMKM yang bekerja keras demi menggerakkan roda ekonomi. Masih ada masyarakat yang percaya bahwa perubahan itu mungkin.
(Penulis: Fauzan Azhari)